Nama Parau Sorat di wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) bukan sekadar penanda geografis, melainkan juga membuka ruang kajian menarik tentang asal-usul kata sorat yang diyakini berasal dari kata surat. Kata tersebut, dalam bahasa Melayu dan Indonesia, identik dengan tulisan, pesan, atau dokumen resmi. Nama ini juga ada dalamnkosa kata Arab, India, Persia dll.
Namun, ketika ditempatkan dalam konteks nama tempat, ia menyimpan makna lebih luas yang berhubungan dengan sejarah, komunikasi, dan identitas masyarakat.
Sejak lama, kawasan Tabagsel dikenal sebagai jalur pertemuan budaya dan perdagangan. Nama Parau Sorat dapat dimaknai sebagai perahu atau titik persinggahan yang terkait dengan surat, tulisan, atau penyampaian pesan. Dalam tradisi Mandailing, surat sering dikaitkan dengan kekuasaan dan legitimasi adat, karena melalui surat dan cap, seorang pemimpin menegaskan wibawanya. Maka, penyematan nama sorat pada sebuah lokasi bisa jadi merujuk pada pusat administrasi atau komunikasi pada masa lalu.
Menariknya, akar kata yang sama ditemukan di berbagai belahan dunia. Di India terdapat kota besar bernama Surat, yang sejak abad pertengahan menjadi pelabuhan penting di pesisir Gujarat. Kota ini dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan tekstil, rempah, dan permata yang berhubungan erat dengan dunia Arab, Persia, dan Nusantara. Kemungkinan besar, kata Surat di India mengacu pada dokumen perdagangan atau izin resmi yang menjadi dasar interaksi maritim.
Selain itu, di negara bagian Rajasthan terdapat Suratgarh, yang menunjukkan pola penggunaan kata serupa sebagai penanda wilayah. Kata garh sendiri berarti benteng, sehingga Suratgarh dapat diartikan sebagai “benteng surat” atau “kota administratif” yang menguatkan fungsi kata surat/sorat dalam konteks pengelolaan politik dan ekonomi.
Di kawasan Thailand selatan, muncul nama Surat Thani, yang berarti “kota orang baik”. Nama ini diberikan oleh Raja Vajiravudh (Rama VI) pada awal abad ke-20 sebagai penghormatan pada masyarakat setempat yang dikenal religius dan ramah. Meski konteksnya berbeda, penggunaan kata Surat dalam penamaan tetap menunjukkan prestise tinggi yang melekat pada istilah tersebut.
Fenomena serupa juga terlihat di Afghanistan dengan nama Suratkhani, meski makna spesifiknya berbeda. Namun, pola pengulangan kata ini di berbagai kawasan Asia Selatan dan Tenggara menunjukkan bahwa istilah surat atau sorat memiliki daya tarik yang melampaui batas geografis. Kata ini tidak hanya sekadar menunjuk pada benda, tetapi juga menggambarkan nilai simbolik, baik itu kepercayaan, administrasi, atau identitas kolektif.
Di Sumatera sendiri, nama Surat/Sorat bisa ditemukan bukan hanya di Tabagsel, melainkan juga di beberapa toponim lain yang berkaitan dengan sejarah migrasi, perdagangan, maupun pengaruh kerajaan. Dalam konteks Batak, sorat atau surat selalu erat kaitannya dengan tulisan aksara Batak, surat Batak, naskah kuno, serta arsip tradisi hukum adat. Dengan demikian, Sorat di Tabagsel dapat dikaitkan dengan pusat literasi dan administrasi lokal.
Jika ditelusuri lebih dalam, kemiripan antara Sorat di Tabagsel dengan Surat di India maupun Surat Thani di Thailand kemungkinan besar tidak menunjukkan hubungan langsung. Namun, kemiripan ini memberi gambaran bahwa ada inspirasi lintas budaya yang menempatkan kata surat/sorat sebagai simbol otoritas, keteraturan, dan komunikasi.
Dalam sejarah panjang perdagangan maritim Asia, banyak kata yang berpindah dan beradaptasi di berbagai tempat. Surat, sebagai istilah yang berhubungan dengan dokumen resmi, sangat mungkin tersebar melalui jalur perdagangan dan interaksi kolonial. Namun, dalam kasus Tabagsel, ia juga bisa muncul secara independen karena relevansi konsep surat dalam kehidupan masyarakat adat.
Keberadaan Parau Sorat sendiri mempertegas bahwa Tabagsel bukan daerah terpencil, melainkan bagian dari arus global. Nama ini menyimpan lapisan makna yang memperlihatkan betapa pentingnya komunikasi dan administrasi dalam tatanan masyarakat setempat. Ia seakan menjadi cermin lokal dari istilah global yang hidup di berbagai kota lain.
Dari perspektif linguistik, kata surat berasal dari bahasa Arab yang kemudian menyebar ke berbagai bahasa Asia melalui jalur perdagangan Islam. Namun, dalam penggunaannya sebagai nama tempat, terjadi proses kreatif yang unik. Di Thailand, ia diberi makna spiritual. Di India, ia berkaitan dengan perdagangan. Di Tabagsel, ia melebur dengan tradisi Batak yang menjunjung tinggi tulisan sebagai simbol adat.
Kesamaan fonetik ini sekaligus mengingatkan pada jejak panjang sejarah peradaban di Asia. Tidak jarang, kata-kata yang lahir di satu tempat berkembang menjadi identitas di tempat lain. Bahkan ketika tidak ada hubungan langsung, kata tersebut membawa nuansa kebesaran, kewibawaan, dan keabadian.
Fakta bahwa masyarakat Tabagsel masih mempertahankan nama Parau Sorat hingga kini membuktikan adanya kontinuitas tradisi. Nama tersebut bukan hanya label, tetapi juga bagian dari memori kolektif yang mengikat generasi. Sama seperti Surat di India yang dikenal luas dalam catatan kolonial, atau Surat Thani di Thailand yang masih hidup sebagai kota besar, Sorat di Tabagsel juga memiliki daya tahan simbolis.
Dalam percaturan politik modern, nama Sorat dapat menjadi bahan refleksi bahwa identitas lokal sesungguhnya terhubung dengan jaringan global. Meski lahir dari konteks berbeda, ada semacam resonansi makna yang memperlihatkan bahwa kata-kata tertentu memiliki daya tarik universal. Surat atau Sorat adalah salah satunya.
Hal ini menunjukkan bahwa bahasa dan nama tempat tidak pernah berdiri sendiri. Ia merupakan hasil dialog panjang antara tradisi, agama, dan interaksi lintas bangsa. Dari Gujarat hingga Tabagsel, dari Bangkok hingga Qandahar, kata surat telah bertransformasi menjadi berbagai simbol yang meneguhkan makna lokal sekaligus global.
Maka, Parau Sorat di Tabagsel dapat dibaca sebagai satu titik kecil dalam peta besar sejarah peradaban Asia. Ia menyimpan cerita tentang bagaimana masyarakat lokal memahami pentingnya komunikasi, dan pada saat yang sama, ia terhubung dengan kota-kota lain yang berbagi akar kata serupa.
Meski tidak ada bukti langsung bahwa Sorat di Tabagsel berhubungan dengan Surat di India atau Surat Thani di Thailand, kemiripan itu tetap menggugah. Ia membuka ruang untuk berpikir tentang kemungkinan jalur inspirasi, baik melalui perdagangan, diaspora, maupun sekadar kesamaan makna yang muncul secara mandiri.
Dengan demikian, Sorat bukan hanya sekadar nama desa atau kota. Ia adalah simbol dari perjalanan kata, dari simbol komunikasi hingga penanda identitas. Ia menjelma sebagai pengingat bahwa dunia kita, sejak dulu, selalu saling terhubung melalui bahasa.
Dan pada akhirnya, Sorat di Tabagsel membuktikan bahwa sebuah kata mampu menjembatani ruang dan waktu. Dari surat sebagai dokumen, ia menjelma menjadi Sorat sebagai nama tempat. Dari Gujarat hingga Mandailing, dari Venezuela hingga Suwayda, kisah kata ini mengikat peradaban yang jauh namun tetap memiliki denyut yang sama.
Sejarah Surat di India
Sebelum bangkitnya Surat pada tahun 1500-an, kota terdekat Rander (Al Raniry) merupakan pusat perdagangan utama di wilayah tersebut. Rander memiliki komunitas pedagang Arab yang menonjol dan terlibat dalam perdagangan luar negeri dengan kawasan seperti Burma, Tiongkok, Malaya, dan Sumatra. Namun, pada abad ke-16, Rander mengalami kemunduran akibat serangan Portugis. Pada waktu yang hampir bersamaan, Surat muncul sebagai kota pelabuhan penting, dan kemungkinan sebagian penduduk pedagang Rander pindah ke Surat untuk mencari peluang ekonomi.
Rujukan awal tentang Surat sudah muncul sejak abad ke-10, tetapi hanya sedikit yang menjelaskan jenis permukiman apa kota ini sebenarnya. Dengan nama Suryapur (Suraj), ia disebut bersama Bharuch sebagai tempat yang dilalui pasukan dari Anhilwara pada tahun 990 ketika hendak menyerang penguasa Lata. Suryapur mungkin juga merupakan pelabuhan yang disebut "Surabaya" oleh ahli geografi Arab abad ke-10, Istakhri, yang menulis bahwa letaknya empat hari perjalanan ke selatan Khambhat dan lima hari ke utara Sanjan. Penulis Arab lainnya mengeja nama itu sebagai "Subara" atau "Sufara". Namun, identifikasi tempat ini dengan Surat masih belum pasti, dan bagaimanapun juga, penyebutan awal Suryapur atau Surabaya tidak menunjukkan apakah ia sudah berupa kota besar atau sekadar perkampungan kecil.
Penyebutan lain tentang Surat muncul pada tahun 1190-an, setelah Qutb ud-Din Aibak, yang saat itu merupakan jenderal dari Muhammad Ghuri, mengalahkan raja Chaulukya, Bhima II, dalam pertempuran. Menurut sejarah lokal karya Bakshi Mian Walad Shah Ahmad dan Munshi Ghulam Mohi ud-Din, Aibak bergerak sejauh selatan hingga mencapai Rander dan Surat. Saat itu Surat diperintah oleh seorang tokoh lokal yang bermarkas di Kamrej. Penguasa ini awalnya mencoba melarikan diri ke sebuah taman di Surat, namun akhirnya menyadari tidak ada peluang untuk melawan pasukan Aibak dan memilih menyerahkan diri. Aibak kemudian meneguhkannya kembali sebagai penguasa Kamrej.
Mulai tahun 1297, Gujarat secara bertahap ditaklukkan oleh Alauddin Khilji, penguasa negara utama di India utara saat itu, yaitu Kesultanan Delhi. Kesultanan Delhi menunjuk gubernur untuk mengendalikan Gujarat, namun hal ini harus ditegakkan dengan kekuatan militer, terutama pada tahun 1347 ketika Muhammad bin Tughluq menguasai Surat bersama kota-kota lain. Pada tahun 1373, Firoz Shah Tughlaq membangun sebuah benteng di Surat. Menurut catatan Bakshi Mian, ketika Zafar Khan diangkat menjadi gubernur Gujarat pada tahun 1391, ia mengangkat putranya, Masti Khan, untuk memerintah Rander dan Surat. Akan tetapi, Bakshi Mian menambahkan bahwa pada masa itu Surat belum memiliki jumlah penduduk yang besar.
Ketika kekuasaan Kesultanan Delhi mulai melemah pada akhir abad ke-14, desakan untuk berdirinya Gujarat yang merdeka semakin menguat, hingga akhirnya Zafar Khan menyatakan kemerdekaan pada tahun 1407. Surat kemudian berada di bawah kendali langsung para bangsawan dari kerajaan Rajput Baglana, yang kadang tunduk kepada Sultan Gujarat atau kepada Kesultanan Deccan.
Namun, setelah jatuhnya Kesultanan Gujarat pada tahun 1538, Surat dikuasai oleh para bangsawan lokal, dimulai dengan Chengiz Khan yang menikmati otoritas mutlak atas Surat, Broach (Bharuch), Baroda, dan Champaner. Akan tetapi, pada tahun 1637, Aurangzeb sepenuhnya menganeksasi Baglana ke dalam Kekaisaran Mughal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar