Pengungsi Rohingya di Asia Selatan dan Timur Tengah telah menunjukkan fenomena serupa dengan kamp Palestina di Suriah dan Lebanon. Dari tenda darurat, sebagian kamp berkembang menjadi komunitas semi-permanen dengan aktivitas ekonomi internal yang relatif mandiri. Fenomena ini terlihat jelas di Bangladesh, Pakistan, dan Arab Saudi.
Di Bangladesh, kamp pengungsi terbesar berada di distrik Cox’s Bazar. Awalnya dibangun sebagai tenda sementara bagi ribuan Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar, kamp ini kini memiliki bangunan semi-permanen, jalan kecil, sekolah darurat, dan toko-toko sederhana. Meskipun masih tergolong pengungsian, kamp ini berfungsi sebagai komunitas mandiri dengan jaringan ekonomi internal.
Pasar kecil di dalam kamp Cox’s Bazar berkembang secara spontan. Warga menjual makanan ringan, sembako, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari. Aktivitas ini didukung oleh sumbangan internasional, tetapi sebagian besar dijalankan secara mandiri oleh pengungsi. Pendapatan dari toko-toko ini menjadi sumber utama kehidupan sehari-hari.
Beberapa pengungsi membangun bangunan semi-permanen bertingkat, dan sebagian lantai disewakan untuk kerabat atau tetangga. Mirip dengan fenomena apartemen sewa di Yarmuk, hal ini menunjukkan adaptasi ekonomi jangka panjang di tengah keterbatasan sumber daya.
Di Pakistan, pengungsi Rohingya terkonsentrasi di Karachi dan beberapa kota pesisir. Sebagian besar tinggal di permukiman informal yang awalnya berupa tenda atau rumah papan. Lama kelamaan, komunitas ini membangun rumah permanen dan membuka toko kecil. Aktivitas ekonomi di sini termasuk penjualan makanan, jasa tukang, dan usaha transportasi lokal.
Di Arab Saudi, pengungsi Rohingya sering tinggal di perkampungan dekat kota besar seperti Riyadh atau Jeddah. Meskipun status hukum mereka berbeda dengan di Bangladesh atau Pakistan, beberapa komunitas membentuk jaringan internal untuk membantu satu sama lain. Mereka membuka usaha kecil, seperti toko kelontong, restoran, atau jasa laundry, yang menjadi sumber penghasilan mandiri.
Fenomena sewa-menyewa juga muncul. Beberapa keluarga Rohingya menyewakan bagian rumah mereka kepada kerabat atau pendatang baru. Hal ini menunjukkan kemampuan adaptasi dan solidaritas komunitas, sekaligus membentuk ekonomi internal yang menjaga kelangsungan hidup komunitas.
Pasar internal kamp Rohingya juga menjadi pusat sosial. Selain untuk berjualan, pasar berfungsi sebagai tempat berkumpul, bertukar informasi, dan membangun jaringan solidaritas. Anak-anak muda juga mulai belajar berdagang atau membantu usaha keluarga, sehingga keterampilan ekonomi turun-temurun tetap terjaga.
Organisasi kemanusiaan seperti UNHCR dan IOM tetap hadir untuk mendukung, tetapi dalam banyak kasus, warga Rohingya menciptakan mekanisme mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bantuan internasional lebih difokuskan pada pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, sedangkan ekonomi internal tetap diatur oleh komunitas sendiri.
Meskipun ada batasan hukum di beberapa negara, terutama terkait kepemilikan tanah atau izin usaha, warga Rohingya tetap menemukan cara untuk memanfaatkan ruang yang tersedia. Mereka menggunakan tenda, rumah papan, atau bangunan semi-permanen untuk membuka toko dan penginapan sederhana.
Fenomena ini menunjukkan resiliensi tinggi pengungsi Rohingya. Meski status mereka terbatas dan menghadapi diskriminasi, komunitas mampu menciptakan kehidupan yang lebih stabil melalui usaha mandiri dan solidaritas internal.
Urbanisasi kamp juga terjadi secara bertahap. Jalan dibangun lebih rapi, fasilitas publik seperti sumur air atau sekolah darurat dikembangkan, dan pasar kecil terus tumbuh. Hal ini memperlihatkan transisi dari pengungsian darurat menjadi komunitas semi-permanen yang relatif mandiri.
Aktivitas ekonomi ini juga menciptakan jaringan sosial yang kuat. Dengan berjualan atau menyewa properti, warga membangun hubungan sosial yang memperkuat kohesi komunitas, serta memberikan keamanan ekonomi dalam situasi yang rentan.
Seiring waktu, generasi muda yang lahir di kamp mulai mengambil peran dalam usaha keluarga. Mereka belajar berdagang, menjahit, memasak, atau mengelola toko kecil. Generasi baru ini menjadi pilar keberlanjutan ekonomi dan sosial komunitas Rohingya.
Fenomena pasar, sewa-menyewa, dan usaha kecil juga membedakan kamp Rohingya dari pengungsian darurat murni, seperti Zaatari atau Al-Hol. Pengungsi tidak hanya menunggu bantuan internasional, tetapi menciptakan sistem ekonomi internal yang mendukung kehidupan mereka sehari-hari.
Di Arab Saudi dan Pakistan, beberapa pengungsi bahkan membuka usaha untuk melayani komunitas lokal dan diaspora, menunjukkan keterampilan adaptasi dan integrasi ekonomi di lingkungan baru.
Fenomena ini mirip dengan kamp Palestina urbanized, di mana tenda darurat perlahan digantikan oleh bangunan permanen, apartemen sewa, dan pasar internal. Pengungsi Rohingya meniru pola ini meskipun dalam kondisi hukum dan politik yang berbeda.
Urbanisasi ini juga mencerminkan kebutuhan jangka panjang. Sebagian besar pengungsi Rohingya tidak mungkin kembali ke Myanmar dalam waktu dekat, sehingga mereka membangun lingkungan semi-permanen yang bisa menopang generasi baru.
Aktivitas ekonomi internal juga membantu memperkuat identitas komunitas. Pasar, toko, dan penginapan menjadi pusat sosial di mana tradisi, bahasa, dan budaya Rohingya tetap terjaga meskipun berada jauh dari tanah asal.
Kamp Rohingya di Bangladesh, Pakistan, dan Arab Saudi kini menjadi contoh pengungsian yang berkembang menjadi komunitas mandiri, dengan pasar, apartemen sewa, dan kegiatan ekonomi internal. Fenomena ini menegaskan bahwa pengungsi mampu menciptakan kehidupan baru meski terbatas secara hukum dan sumber daya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar