Menelisik Asal Nama Tobe-Tobe di Buton - Purba Baru

Post Top Ad

Menelisik Asal Nama Tobe-Tobe di Buton

Menelisik Asal Nama Tobe-Tobe di Buton

Share This

Di antara deretan nama-nama kerajaan kecil yang pernah ada di wilayah Kesultanan Buton, nama Tobe-Tobe kerap disebut-sebut sebagai salah satu wilayah awal sebelum terbentuknya kerajaan besar itu. Tercatat dalam tradisi lisan dan naskah-naskah lokal, Tobe-Tobe bersama beberapa negeri lain seperti Kamaru, Wabula, Todanga, dan Batauga menjadi bagian dari kawasan awal yang kemudian dilebur di bawah satu pemerintahan bersama. Namun, asal-usul nama Tobe-Tobe sendiri masih menyisakan ruang tanya, apakah semata-mata berasal dari bahasa lokal atau ada pengaruh asing yang menyusup ke dalam toponimi ini.

Sebagian besar sejarawan lokal Buton berpendapat bahwa kata tobe dalam istilah adat Wolio merujuk kepada jabatan pemimpin adat setingkat kepala wilayah atau bangsawan kecil. Istilah ini masih dikenal dalam masyarakat Buton hingga kini, meskipun sistem pemerintahan adat tradisional sudah banyak berkurang pengaruhnya. Dalam sistem adat Patalimbona yang dahulu menaungi empat limbo di Buton, jabatan seperti bonto dan tobe memiliki peran penting sebagai penguasa wilayah kecil dan penasihat politik bagi raja.

Di sisi lain, menarik untuk dicatat bahwa sejak abad ke-13 hingga abad ke-17, Buton telah menjadi persinggahan strategis bagi para saudagar dan pelaut dari Arab, Gujarat, hingga Persia. Aktivitas perdagangan yang berkembang di perairan Nusantara kala itu tak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga pertukaran budaya, agama, dan bahkan penamaan wilayah. Di wilayah pesisir Nusantara, cukup banyak ditemukan nama tempat atau marga yang berakar dari bahasa Arab, baik secara langsung maupun setelah melewati proses adaptasi lokal.

Hal ini menimbulkan dugaan di kalangan sebagian peneliti budaya dan pemerhati toponimi bahwa bisa jadi nama Tobe-Tobe memiliki kaitan dengan tradisi penamaan Arab. Salah satu nama yang kebetulan memiliki kesamaan bunyi adalah Tabatabai, sebuah nama marga keturunan Hasan bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, yang populer di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan. Fam Tabatabai ini dikenal di berbagai pusat peradaban Islam, termasuk di pesisir barat Sumatra, Jawa, dan kawasan kepulauan timur Nusantara yang ramai oleh aktivitas pelaut Arab dan Persia.

Memang, hingga saat ini belum ada dokumen tertulis atau naskah lokal Buton yang secara eksplisit menyebut keberadaan keluarga atau tokoh bermarga Tabatabai di kawasan itu. Namun tradisi lisan masyarakat Buton dan jejak kontak dagang Arab di pelabuhan-pelabuhan Buton, Bau-Bau, hingga Buton Selatan membuka peluang adanya jejak kata atau istilah asing yang diadaptasi ke dalam bahasa lokal. Bukan hal yang aneh jika sebuah nama tempat diadaptasi dari nama keluarga atau tokoh penting yang pernah singgah atau berpengaruh di suatu wilayah.

Perjalanan sejarah Nusantara menunjukkan bahwa proses penyerapan nama-nama asing ke dalam bahasa lokal kerap terjadi tanpa disadari. Banyak toponimi di Indonesia yang berakar dari nama pedagang Arab, Persia, atau Gujarat yang bermukim sementara atau berinteraksi dengan masyarakat setempat. Di wilayah Maluku dan Sulawesi, toponimi seperti Bacan, Jailolo, atau Tidore pun banyak menyimpan unsur asing yang kini sulit dilacak asal-usulnya secara pasti.

Nama Tobe-Tobe yang berbentuk pengulangan kata juga memunculkan tafsir lain. Dalam kebiasaan penamaan Nusantara, pengulangan kata bisa bermakna tempat berkumpul atau kawasan yang dihuni oleh kelompok tertentu. Bila dikaitkan dengan kemungkinan pengaruh nama Tabatabai, bisa saja Tobe-Tobe dulunya adalah kawasan tempat bermukimnya sekelompok saudagar atau pendatang asing yang oleh masyarakat lokal disebut dengan nama yang dimiripkan atau dipelesetkan dari nama asal mereka.

Tradisi masyarakat pesisir Nusantara juga terbiasa mengadaptasi nama-nama asing ke dalam lidah lokal. Misalnya nama Said menjadi Sait atau nama Zubair menjadi Subair. Kemungkinan hal serupa terjadi bila Tabatabai yang dikenal dalam tradisi Timur Tengah kemudian disebut dengan pelafalan lokal menjadi Tobe atau Tobe-Tobe. Apalagi jika komunitas itu memiliki peran penting dalam awal terbentuknya pemerintahan adat Buton.

Menariknya, dalam konteks geopolitik abad pertengahan, banyak kerajaan kecil di Nusantara Timur yang memiliki hubungan dagang dan budaya dengan pedagang Arab. Wilayah Buton yang strategis di jalur pelayaran rempah-rempah tentu bukan pengecualian. Beberapa sumber Belanda abad ke-17 juga menyebut keberadaan pedagang asing di pelabuhan Bau-Bau, meskipun mereka tak selalu menetap lama. Sisa pengaruh budaya mereka bisa jadi terekam dalam nama-nama tempat yang bertahan hingga kini.

Sejumlah pemerhati sejarah Buton menganggap hipotesis ini layak ditelusuri lebih jauh. Nama Tobe-Tobe yang sepintas sederhana bisa jadi menyimpan makna historis yang lebih dalam bila dikaitkan dengan tradisi penamaan Arab Hadhrami atau Persia di kawasan Nusantara. Apalagi jika dikaitkan dengan banyaknya nama bangsawan Buton di era kesultanan yang menggunakan gelar Haji dan nama-nama Islam bergaya Timur Tengah.

Meskipun demikian, tanpa dokumen primer atau prasasti yang jelas, hipotesis ini tetap bersifat argumentatif. Bisa jadi Tobe-Tobe memang murni berasal dari istilah adat Wolio tanpa pengaruh asing. Atau justru sebaliknya, sebuah nama tempat yang lahir dari percampuran budaya di era awal perdagangan internasional di perairan Sulawesi Tenggara. Situasi semacam ini jamak terjadi di wilayah-wilayah pesisir Nusantara yang menjadi titik temu berbagai etnis dan bangsa.

Sejarah Buton sendiri memang menyimpan banyak lapisan peristiwa yang belum sepenuhnya terungkap. Beberapa penamaan wilayah dan jabatan adat seperti Bonto, Limbo, dan Tobe masih menjadi topik menarik dalam studi etnolinguistik. Jika saja ditemukan dokumen pelayaran Arab atau catatan saudagar Persia yang menyebut nama Buton atau kawasan Tobe-Tobe, mungkin keterkaitan ini bisa dikuatkan lebih jauh.

Ketiadaan catatan asing bukan berarti tidak pernah terjadi kontak budaya. Dalam tradisi lisan Buton, kedatangan orang luar, melalui Sumatera, sudah dikenal sejak era Mia Patamiana. Siapa saja orang luar itu memang belum sepenuhnya teridentifikasi, tetapi sebutan seperti bonto, tobe, dan patalimbona mengindikasikan adanya pengaruh sistem sosial luar yang diterima dan diolah ke dalam tatanan lokal.

Di berbagai kawasan pesisir Indonesia Timur, fenomena serupa juga terjadi. Nama-nama kampung, gunung, atau sungai yang terdengar lokal bisa jadi hasil akulturasi atau adaptasi nama asing. Tradisi pewarisan nama di masyarakat lisan memungkinkan sebuah kata mengalami pelesetan fonetik tanpa menghilangkan asal-usul maknanya. Seandainya memang pernah ada keluarga Tabatabai atau komunitas Arab Hadhrami yang singgah di Buton, kemungkinan nama mereka bertahan dalam bentuk lokal seperti Tobe-Tobe.

Meski demikian, hingga kini nama Tobe-Tobe tetap menjadi bagian dari sejarah awal Buton yang lebih dikenal sebagai pusat peradaban Islam di Indonesia Timur. Nama ini setidaknya menjadi pengingat bahwa sebelum sistem kesultanan Islam mapan di Buton, sudah ada struktur sosial adat yang unik dan terbuka terhadap pengaruh asing. Entah nama itu murni adat Wolio atau jejak samar pelaut Tabatabai, keduanya menjadi bagian dari kekayaan sejarah Nusantara yang layak ditelusuri kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages