Di antara mozaik sejarah Nusantara kuno, nama Kerajaan Melayu Sribuja mungkin belum sepopuler Sriwijaya atau Kalingga. Namun, catatan-catatan tua dari abad ke-7 Masehi menyimpan kisah penting tentang kerajaan ini. Menurut beberapa sumber, Melayu Sribuja pernah berdiri kokoh di pesisir Sumatra sebelum akhirnya ditaklukkan oleh kekuatan maritim Sriwijaya pada tahun 683 M.
Letak pasti dari Kerajaan Melayu Sribuja memang masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Namun, sejumlah teori menempatkannya di sekitar pantai barat Sumatra bagian utara, di kawasan yang saat ini masuk wilayah Tapanuli Tengah atau di pesisir Timur sekitar Jambi, Sabak. Kawasan ini memang sejak lama dikenal sebagai jalur niaga penting yang terkoneksi ke wilayah barat Nusantara dan Samudera Hindia.
Salah satu versi menarik menyebut bahwa Sribuja atau Sriboga adalah asal muasal dari nama kota pelabuhan kuno Sibolga yang penemuan arkeologinya dapat dilihat di Situs Bongal, Badiri dekat Sibolga sekarang. Kota ini hingga kini menjadi salah satu pintu gerbang ke wilayah pesisir barat Sumatra dan dikenal dalam sejarah sebagai bagian dari Barus Raya. Nama Sribuja atau Sriboga diduga mengalami pergeseran lidah lokal menjadi Sibolga seiring berjalannya waktu.
Barus sendiri adalah pelabuhan kuno yang telah dikenal dunia sejak sebelum abad ke-1 Masehi. Catatan dari Claudius Ptolemaeus dalam Geographia menyebut Barus sebagai pusat perdagangan kapur barus, rempah-rempah, dan emas yang menjadi incaran pedagang dari Arab, India, dan Tiongkok. Kedekatan geografis antara Barus dan kemungkinan letak Sribuja membuka peluang bahwa kedua kawasan ini pernah terhubung erat dalam jaringan niaga maritim.
Hubungan antara Melayu Sribuja dan Barus diduga bukan hanya sekadar hubungan dagang. Ada kemungkinan terjadi pertukaran budaya, politik, bahkan hubungan keluarga antarkerajaan di kawasan pesisir barat Sumatra tersebut. Beberapa legenda lokal di Tapanuli bahkan menyebut adanya garis keturunan bangsawan dari daerah Sibolga yang masih terkait dengan kerajaan-kerajaan Melayu kuno.
Kaitan antara Melayu Sribuja dan kerajaan-kerajaan di Jawa pun terekam dalam catatan sejarah. Ibunda dari Raja Kartikeyasinga, penguasa Kalingga di Jawa Tengah pada abad ke-7 M, disebut berasal dari keluarga kerajaan Melayu Sribuja. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan tersebut pernah memiliki pengaruh hingga ke luar Sumatra.
Raja Melayu Sribuja yang tak disebutkan namanya dalam banyak sumber diyakini merupakan tokoh penting sebelum Sriwijaya memperluas wilayahnya ke barat Sumatra. Kekalahan Melayu Sribuja oleh Sriwijaya pada 683 M, yang tercatat dalam Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, menjadi tonggak dimulainya dominasi Sriwijaya atas jalur perdagangan barat Nusantara.
Setelah kekalahan itu, Sriwijaya diduga menguasai jalur pelayaran dari Barus, Pannai, hingga ke Selat Malaka. Kawasan Barus dan Sibolga pun masuk dalam kekuasaan Sriwijaya yang saat itu aktif memperluas pengaruhnya ke berbagai penjuru Asia Tenggara. Hubungan dagang antara pelabuhan di pantai barat Sumatra dan pusat Sriwijaya di Palembang semakin intensif.
Versi legenda lain yang berkembang di daerah Sibolga dan Barus menyebut bahwa Sribuja atau Sriboga dulunya adalah nama kawasan pelabuhan yang kemudian menjadi cikal bakal Sibolga. Nama ini diduga berasal dari istilah kuno “Sri Boga” yang berarti ‘tanah suci’ atau ‘wilayah penguasa’. Seiring waktu, penyebutan lokal masyarakat setempat berubah menjadi Sibolga.
Kaitan historis ini didukung oleh temuan artefak-artefak kuno di sekitar Sibolga dan Barus, mulai dari batu nisan, pecahan keramik, hingga catatan-catatan lisan masyarakat setempat. Beberapa di antaranya mengisahkan tentang raja-raja Melayu kuno yang sempat berkuasa di wilayah itu sebelum kedatangan Sriwijaya.
Di sisi lain, Kalingga di Jawa juga memiliki hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan Melayu kuno di Sumatra. Kartikeyasinga, Raja Kalingga, yang memerintah antara 648 hingga 674 M, diketahui memiliki ibu seorang putri Melayu Sribuja. Hubungan ini menunjukkan adanya diplomasi dinasti antar kerajaan di Sumatra dan Jawa jauh sebelum Majapahit atau Sriwijaya berjaya.
Ketika Kartikeyasinga wafat pada 674 M, Ratu Sima, istrinya, mengambil alih tampuk kekuasaan. Ratu Sima dikenal sebagai penguasa yang bijak, jujur, dan tegas. Kisahnya bahkan sampai ke negeri-negeri seberang sebagai contoh pemimpin yang menjunjung tinggi keadilan. Di bawah pemerintahannya, hubungan dengan wilayah asal ibunya di Melayu Sribuja diduga tetap terjaga.
Meskipun saat itu Melayu Sribuja dalam tekanan ekspansi Sriwijaya, kemungkinan jaringan keluarga kerajaan tetap menjadi jembatan diplomasi antarpulau. Koneksi ini yang diperkirakan memperkuat jalur perdagangan lintas Jawa-Sumatra melalui jalur barat yang melibatkan pelabuhan-pelabuhan seperti Barus dan Sibolga.
Barus yang dikenal sebagai pusat produksi kapur barus terbaik di dunia, menjadi salah satu titik penting yang menghubungkan kerajaan-kerajaan Sumatra dengan dunia luar. Kapur barus saat itu tidak hanya digunakan untuk pengobatan dan upacara, tapi juga sebagai komoditas ekspor bernilai tinggi di pasar India, Persia, hingga Arab.
Jika benar Sribuja adalah bagian dari kawasan Barus Raya, maka kekalahan Sribuja di tangan Sriwijaya dapat dianggap sebagai pengambilalihan akses ekonomi yang sangat strategis. Sriwijaya tentu ingin menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di pantai barat Sumatra guna mengontrol jalur perdagangan ke arah barat menuju India.
Catatan ini sekaligus memperlihatkan bahwa kerajaan-kerajaan Sumatra kuno, khususnya di pantai barat, memiliki peran besar dalam jaringan perdagangan maritim Asia Tenggara. Sayangnya, jejak-jejak kebesaran Sribuja perlahan hilang seiring dominasi Sriwijaya dan minimnya catatan tertulis yang tersisa.
Namun, hingga kini, memori tentang Sribuja atau Sriboga masih hidup dalam cerita-cerita rakyat di Sibolga dan Barus. Beberapa nama kampung tua di sekitar Sibolga disebut memiliki kaitan dengan tokoh-tokoh bangsawan Melayu kuno. Cerita tentang kerajaan lama yang ditaklukkan tapi tetap dikenang terus diwariskan secara lisan.
Sejarawan modern masih berupaya meneliti kemungkinan lokasi bekas pusat Kerajaan Melayu Sribuja melalui studi toponimi, arkeologi, dan sumber-sumber prasasti. Diharapkan di masa depan, penelitian ini mampu mengungkap lebih jelas peran Sribuja dalam sejarah awal Nusantara, khususnya di jalur perdagangan maritim barat Sumatra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar