Yaman hari ini menjadi sorotan dunia setelah Presiden Dewan Kepemimpinan Presiden (Presidential Leadership Council/PLC) Rashad al-Alimi mengumumkan pembatalan seluruh perjanjian pertahanan dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan meminta agar seluruh pasukan Emirat ditarik dari wilayah Yaman dalam waktu 24 jam. Keputusan ini diumumkan menyusul tuduhan bahwa UEA mengirimkan pengiriman senjata dan kendaraan tempur kepada pasukan yang didukungnya, yaitu Dewan Transisi Selatan (STC), tanpa izin resmi, sehingga memperburuk konflik yang sudah berlangsung lama di negara itu.
Pernyataan al-Alimi disiarkan secara nasional di televisi Yaman, di mana ia menegaskan bahwa pembatalan perjanjian dan permintaan penarikan pasukan merupakan langkah untuk memulihkan kedaulatan nasional sekaligus meredakan ketegangan antara pihak pemerintah yang didukung Arab Saudi dan kelompok separatis di selatan. Selain itu, keadaan darurat nasional selama 90 hari diumumkan bersamaan dengan larangan penerbangan udara dan pergerakan di pelabuhan dan perbatasan selama 72 jam sebagai respons atas eskalasi terbaru.
Pembatalan perjanjian ini juga berdampak langsung terhadap kehadiran UEA di kawasan strategis seperti Kepulauan Socotra dan pulau-pulau lain di dekat Mokha, yang selama bertahun-tahun menjadi pusat aktivitas militer dan pembangunan oleh pihak Emirati serta para kelompok bersenjata yang mereka dukung. Secara historis, UEA pernah menempatkan pasukan dan menguasai fasilitas penting di Socotra pada 2018 sebelum kontrol administratif secara formal dikembalikan kepada pemerintah Yaman, namun kehadiran dan pembangunan berkelanjutan oleh pihak Emirat serta sekutunya tetap menjadi isu yang dipersoalkan oleh pemerintah Yaman.
Dengan dibatalkannya perjanjian pertahanan dan permintaan penarikan pasukan, banyak pengamat internasional menilai bahwa keberadaan UEA di Socotra kini dapat dianggap ilegal berdasarkan hukum kedaulatan Yaman, karena tidak ada lagi dasar perjanjian yang mengizinkan pasukan asing untuk tetap berada di negara tersebut. Dampaknya tidak hanya bersifat militer tetapi juga politis, mengingat posisi Socotra yang strategis di jalur pelayaran internasional dan dekat dengan Selat Bab al-Mandab.
Namun, muncul pertanyaan penting: apakah batas waktu 24 jam yang diberikan oleh pemerintah Yaman akan cukup? Para analis mengatakan bahwa dalam realitas perang dan kekacauan administratif Yaman, penarikan total pasukan asing — khususnya mereka yang berintegrasi dengan unit lokal seperti milisi STC — dalam jangka waktu singkat sangatlah tidak realistis. Logistik, koordinasi, serta potensi resistensi dari kelompok lokal yang pro-UEA menjadikan batas 24 jam lebih sebagai tuntutan simbolis dan tekanan politik ketimbang tenggat pelaksanaan yang benar-benar dapat dipenuhi dalam waktu sebentar.
Di sisi lain, sejumlah kelompok lokal yang didukung UEA telah lama membangun kekuatan militer mereka sendiri dan memiliki kendali nyata atas wilayah tertentu di selatan Yaman. Kehadiran mereka sering kali sudah terjalin erat dengan infrastruktur dan jaringan pasukan lokal sehingga penarikan “pasukan UEA” secara formal tidak otomatis berarti berakhirnya keterlibatan militer Emirati di lapangan. Sebaliknya, bisa terjadi perpindahan identitas pasukan dari label Emirati menjadi unit sukarelawan lokal yang tetap mendapat dukungan dari Abu Dhabi secara logistik.
Mengenai investasi dan nilai ekonomi UEA di Socotra, meskipun angka resmi sulit dipastikan, laporan media menunjukkan bahwa investasi pembangunan dan bantuan UEA di Socotra sejak 2015 telah mencapai lebih dari US$100 juta, terutama dalam proyek bantuan sosial, pendidikan, infrastruktur dan layanan publik. Proyek-proyek ini termasuk pembangunan sekolah, fasilitas kesehatan, universitas baru, serta perbaikan infrastruktur transportasi yang telah meningkatkan ketergantungan sosial dan ekonomi pulau tersebut terhadap dukungan eksternal.
Selain Socotra, UEA juga memiliki keterlibatan ekonomi dan militer di pulau-pulau strategis lain seperti Abd al-Kuri, Samhah, Darsah, dan pulau Mayyun di Bab al-Mandab — meskipun informasi resmi mengenai angka investasi total di luar Socotra tidak banyak tersedia secara terbuka, sejumlah laporan independen menunjukkan bahwa investasi di pulau-pulau ini sering kali terhubung dengan infrastruktur militer dan fasilitas komunikasi, bukan semata pembangunan sipil.
Dalam konteks konflik yang terus berkembang, pertanyaan lain adalah bagaimana skenario politik akan berubah jika UEA memutuskan untuk bertahan di Yaman meskipun diminta mundur. Salah satu kemungkinan adalah bahwa anggota PLC yang pro-UEA — yang selama ini menyokong posisi Emirati secara politik dan militer — akan terus berada di dalam PLC untuk menjaga pengaruh mereka. Namun, ketegangan internal mungkin mendorong mereka untuk mempertimbangkan opsi yang lebih radikal, seperti mendirikan pemerintahan de facto alternatif yang lebih pro-UEA, terutama jika mereka merasa dipinggirkan oleh blok yang lebih kuat di PLC atau jika mereka memiliki dukungan militer yang signifikan di wilayah tertentu.
Pilihan antara tetap di PLC atau membentuk pemerintahan tandingan memiliki risiko dan keuntungan masing-masing. Jika mereka tetap di PLC, mereka masih memiliki ruang diplomatik untuk mempengaruhi kebijakan Yaman secara resmi, meskipun akan tertekan oleh mayoritas yang menentang peran UEA. Sebaliknya, mendirikan pemerintahan de facto bisa memberikan mereka kemandirian lebih besar, tetapi juga risiko isolasi internasional, keterbatasan sumber daya, dan kemungkinan konflik langsung dengan pemerintah pusat serta sekutu Saudi.
Secara strategis, mempertahankan posisi di dalam PLC mungkin lebih menguntungkan dalam jangka pendek karena memberikan legitimasi dan akses diplomatik. Namun, jika blok pro-UEA mampu mempertahankan kendali wilayah signifikan secara militer, mereka mungkin menilai bahwa pemerintahan tandingan dapat memperkuat tuntutan otonomi atau bahkan kemerdekaan selatan, seperti yang diperjuangkan STC selama bertahun-tahun.
Keputusan al-Alimi untuk membatalkan perjanjian pertahanan dengan UEA dan menetapkan tenggat waktu penarikan pasukan merupakan titian baru dalam konflik Yaman yang kompleks, di mana kepentingan lokal, regional, dan global saling berbenturan. Dampaknya terhadap masa depan Yaman, baik dari sisi keamanan, ekonomi maupun politik, akan terus dipantau oleh komunitas internasional, terutama karena konflik ini berada di jantung jalur pelayaran internasional dan mempengaruhi stabilitas kawasan lebih luas.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar