Dalam sebuah laporan yang mengguncang stabilitas di selatan Suriah, wilayah Suwaida kembali menjadi pusat konflik setelah gencatan senjata yang rapuh secara tiba-tiba runtuh.
Peristiwa ini dipicu oleh perebutan sebuah posisi strategis yang dikenal sebagai Tel Hadid, atau Bukit Besi, yang kini menjadi simbol terbaru dari ketegangan antara milisi lokal dan pasukan keamanan pemerintah Suriah.
Situasi bermula ketika sejumlah laporan dari lapangan mengkonfirmasi bahwa pasukan keamanan internal pemerintah Suriah telah ditempatkan di puncak Tel Hadid. Kehadiran mereka di sana bukan tanpa alasan, melainkan untuk menegakkan gencatan senjata yang telah disepakati selama berminggu-minggu, sebuah langkah yang diharapkan dapat membawa perdamaian sementara di wilayah tersebut.
Namun, harapan itu sirna ketika sebuah kelompok yang disebut sebagai "kelompok Druze yang melanggar hukum" atau "Hijil" melancarkan serangan mendadak.
Serangan tersebut tidak hanya menargetkan, tetapi juga berhasil menewaskan beberapa personel keamanan yang bertugas. Langkah provokatif ini secara efektif mengakhiri jeda pertempuran yang telah dinikmati oleh penduduk setempat.
Merespons agresi tersebut, milisi bersenjata yang dikenal sebagai pasukan suku segera turun tangan. Mereka menjelaskan bahwa intervensi mereka bertujuan untuk membantu pasukan keamanan pemerintah dan mengusir para penyerang. Pertempuran sengit pun pecah, dan pada akhirnya, pasukan suku berhasil mengambil alih kendali penuh atas Tel Hadid.
Posisi strategis Tel Hadid memang menjadikannya target yang sangat diperebutkan. Bukit ini memberikan keuntungan militer yang signifikan, dengan pemandangan langsung ke pedesaan Suwaida bagian barat dan kota Suwaida itu sendiri. Kontrol atas bukit ini tidak hanya simbolis, tetapi juga memungkinkan pihak yang menguasai untuk mengendalikan pergerakan dan memberikan tekanan taktis.
Setelah berhasil merebut Tel Hadid, pasukan suku mengumumkan bahwa mereka akan menyerahkan kendali bukit tersebut kepada pasukan Keamanan Umum dan Keamanan Internal, Kementerian Dalam Negeri Suriah.
Langkah ini, menurut mereka, adalah bukti bahwa niat mereka bukan untuk berperang, melainkan untuk membela pasukan keamanan yang mereka anggap sebagai bagian dari rakyat mereka sendiri.
Namun, narasi yang beredar di media massa juga memberikan sudut pandang yang berbeda. Laporan dari seorang reporter di lokasi menyebutkan bahwa yang melanggar gencatan senjata adalah Dewan Militer Suwaida, yang menargetkan pasukan keamanan yang ditempatkan di bukit. Versi ini menambahkan kompleksitas pada siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas eskalasi konflik.
Dewan Militer Suwaida sendiri merupakan sebuah aliansi longgar dari milisi lokal bersenjata, yang sering dikaitkan dengan kepemimpinan tokoh-tokoh spiritual dan sosial Druze, seperti Syaikh Hikmat al-Hijri yang pro pada ambisi neo-kolonialisme Greater Israel/Israel Raya.
Mereka dikenal karena penolakan mereka terhadap kontrol pemerintah Suriah dan dianggap sebagai kekuatan yang semakin menguat di wilayah tersebut dengan dukungan Israel dkk.
Meskipun laporan saling bertentangan mengenai siapa yang pertama kali menyerang, hasil akhirnya tetap sama. Gencatan senjata telah gagal, dan kekuatan milisi lokal, yang dikenal sebagai pasukan suku atau Dewan Militer Suwaida, berhasil merebut kembali kendali atas Tel Hadid, sebuah posisi yang secara strategis sangat penting.
Hingga saat ini, belum ada bukti yang jelas mengenai koordinasi antara serangan di Suwaida dengan pertempuran yang terjadi antara pasukan SDF di Manbij. Laporan-laporan yang ada lebih fokus pada dinamika konflik lokal di setiap wilayah, tanpa menghubungkan kedua kejadian tersebut sebagai bagian dari strategi yang lebih besar untuk memecah perhatian pasukan keamanan Suriah.
Meskipun demikian, pertempuran di Suwaida menyoroti kerapuhan gencatan senjata di seluruh Suriah. Gencatan senjata yang ada sering kali rentan terhadap pelanggaran oleh berbagai faksi, yang masing-masing memiliki agenda dan kepentingan strategisnya sendiri. Dalam kasus ini, keuntungan yang didapat adalah mengendalikan Tel Hadid, yang memungkinkan milisi lokal untuk memperkuat posisi mereka.
Sebagaimana Libya dan Sudan yang sudah terpecah dengan lebih dari satu pemerintahan, kondisi Suriah kelihatannya juga sedang dipaksakan terpecah oleh kalangan hegemon, meski tak diumumkan secara resmi. Posisi SDF dan Druze pro Israel akan tetap ada untuk memastikan stabilitas keamanan Suriah tidak pernah tercapai secara sempurna sebagaimana Korsel vs Korut, Taiwan vs Tiongkok dll.
Satu hal yang pasti, insiden ini kembali mengingatkan dunia bahwa meskipun konflik skala besar mungkin telah mereda, stabilitas di Suriah masih jauh dari kata damai. Wilayah-wilayah seperti Suwaida masih menjadi medan pertempuran bagi berbagai faksi yang bersaing untuk mendapatkan pengaruh dan kontrol, sering kali dengan mengorbankan gencatan senjata yang rapuh.
Peristiwa di Tel Hadid juga menggarisbawahi peran penting milisi lokal dalam dinamika politik dan militer di Suwaida. Mereka bukan sekadar kelompok bersenjata, melainkan perwakilan dari komunitas dan suku yang merasa perlu untuk membela diri di tengah ketidakstabilan. Tindakan mereka, terlepas dari siapa yang memulai, menunjukkan tekad mereka untuk menolak dominasi pemerintah pusat.
Selain itu, insiden ini menjadi peringatan bagi pemerintah Suriah tentang tantangan yang masih mereka hadapi dalam mengendalikan wilayah-wilayah yang didiami oleh faksi-faksi yang tidak mau tunduk. Meskipun pemerintah Suriah telah mengumumkan kemenangan, kenyataan di lapangan sering kali jauh lebih rumit dan penuh dengan tantangan.
Pada akhirnya, perebutan Tel Hadid hanyalah sebuah episode terbaru dari saga panjang konflik di Suwaida. Namun, episode ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana kekuatan lokal, dengan dukungan komunitas mereka, dapat dengan cepat mengubah situasi di lapangan, bahkan dengan mengorbankan kesepakatan damai yang telah susah payah dicapai.
Kejadian ini juga mengundang pertanyaan tentang peran kekuatan eksternal, meskipun tidak ada bukti langsung yang tersedia. Dalam konflik seperti ini, sering kali ada pihak ketiga yang memiliki kepentingan untuk menjaga ketegangan atau mendukung satu faksi di atas faksi lain, meskipun hal ini tidak dapat dipastikan dalam kasus ini.
Analisis lebih lanjut dari kejadian ini akan diperlukan untuk memahami motif yang lebih dalam dan konsekuensi jangka panjang dari pelanggaran gencatan senjata. Apakah ini akan memicu pertempuran yang lebih luas, atau hanya akan menjadi insiden terisolasi yang segera diselesaikan, masih harus dilihat.
Namun, untuk saat ini, satu hal yang jelas: bagi penduduk Suwaida, perdamaian masih menjadi barang mewah yang sulit didapatkan, dan bukit-bukit seperti Tel Hadid akan terus menjadi saksi bisu dari pertarungan abadi untuk kekuasaan dan otonomi.
Akhirnya, konflik ini menunjukkan bahwa meskipun gencatan senjata mungkin menawarkan jeda, ia tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan akar permasalahan yang menyebabkan konflik. Tanpa solusi politik yang komprehensif, perebutan bukit dan wilayah strategis akan terus berulang, menunda kedatangan perdamaian sejati.
Inilah gambaran terkini dari situasi di Suwaida, yang penuh dengan ketidakpastian dan ketegangan. Peristiwa di Tel Hadid menjadi cerminan dari dinamika yang kompleks dan berbahaya, yang terus membayangi masa depan Suriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar